TUGAS SOFTSKILL B.INDONESIA
FEBRINA RAMADHANI
12212867
3EA11
1. Contoh Artikel Ilmiah tentang
Pendidikan :
Dampak
Globalisasi Terhadap Pendidikan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi
adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi
berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi
berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi,
dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah
faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan
komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat
tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat
dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus
globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak
sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan
globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada
sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya
bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib
sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah menengah
hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas
internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar
akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan
diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan
akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara
ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan
yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri.
Persaingan
untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat
masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan
kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya
cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang
dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya
peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat
Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat
menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya
yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi
pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk
dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di
tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat
dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin
maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam
dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam
jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah –
sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah
bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan
ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial.
Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak
sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan
tidak diredam dari sekarang.
B. Rumusan Masalah
Secara umum,
rumusan masalah pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan” ini
dapat dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.
1. Apa
dampak dari globalisasi untuk dunia pendidikan?
2. Penyebab
buruknya pendidikan di era globalisasi?
3. Cara
penyesuan pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?
C. Tujuan
1. Bagi
Penulis
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah pengantar
pendidikan. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa
digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa, baik dalam
lingkup universitas negeri malang maupun di civitas akademika yang lain.
2. Bagi
Pembaca
Makalah ini
dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan
menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari
kaula mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih
luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.
3. Bagi
Masyarakat
Diharapkan
masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak
negatif yang berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi
kegiatan positif terhadap adanya pendidikan semakin lebih baik.
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengaruh Globalisasi Terhadap
Dunia Pendidikan
Perkembangan
dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar
bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka
peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke
Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional
harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik,
dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta
memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Ketidaksiapan
bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang dipersiapkan
untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan dampak
positif dan negatif dari dari pengaruh globalisasi dalam pendidikan dijelaskan
dalam poin-poin berikut:
1. Dampak
Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
a.
Pengajaran Interaktif Multimedia
Kemajuan
teknologi akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran pada dunia
pendidikan. Pengajaran yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang
berbasis teknologi baru seperti internet dan computer. Apabila dulu, guru
menulis dengan sebatang kapur, sesekali membuat gambar sederhana atau
menggunakan suara-suara dan sarana sederhana lainnya untuk mengkomunikasikan pengetahuan
dan informasi. Sekarang sudah ada computer. Sehingga tulisan, film, suara,
music, gambar hidup, dapat digabungkan menjadi suatu proses komunikasi. Dalam
fenomena balon atau pegas, dapat terlihat bahwa daya itu dapat mengubah bentuk
sebuah objek. Dulu, ketika seorang guru berbicara tentang bagaimana daya dapat
mengubah bentuk sebuah objek tanpa bantuan multimedia, para siswa mungkin tidak
langsung menangkapnya. Sang guru tentu akan menjelaskan dengan contoh-contoh,
tetapi mendengar tak seefektif melihat. Levie dan Levie (1975) dalam Arsyad
(2005) yang membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui
stimulus kata, visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan
hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali,
mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dengan konsep.
b. Perubahan
Corak Pendidikan
Mulai
longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi
dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak,
membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan
perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa
perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis.
Sekolah-sekolah atau satuan pendidikan berhak mengatur kurikulumnya sendiri
yang dianggap sesuai dengan karakteristik sekolahnya. Kemudahan Dalam Mengakses
Informasi Dalam dunia pendidikan, teknologi hasil dari melambungnya globalisasi
seperti internet dapat membantu siswa untuk mengakses berbagai informasi dan
ilmu pengetahuan serta sharing riset antarsiswa terutama dengan mereka yang
berjuauhan tempat tinggalnya. Pembelajaran Berorientasikan Kepada Siswa Dulu,
kurikulum terutama didasarkan pada tingkat kemajuan sang guru. Tetapi sekarang,
kurikulum didasarkan pada tingkat kemajuan siswa. KBK yang dicanangkan
pemerintah tahun 2004 merupakan langkah awal pemerintah dalam mengikutsertakan
secara aktif siswa terhadap pelajaran di kelas yang kemudian disusul dengan
KTSP yang didasarkan pada tingkat satuan pendidikan. Di dalam kelas, siswa
dituntut untuk aktif dalam proses belajar-mengajar. Dulu, hanya guru yang
memegang otoritas kelas. Berpidato di depan kelas. Sedangkan siswa hanya
mendngarkan dan mencatat. Tetapi sekarang siswa berhak mengungkapkan ide-idenya
melalui presentasi. Disamping itu, siswa tidak hanya bisa menghafal tetapi juga
mampu menemukan konsep-konsep, dan fakta sendiri.
2. Dampak
Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
a.
Komersialisasi Pendidikan
Era
globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan
sekolah-sekolah dengan tujuan utama sebagai media bisnis. John Micklethwait
menggambarkan sebuah kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai merambah dunia
pendidikan dalam bukunya “Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan
pendidikan menandai pendekatan kembali ke masa depan. Salah satu ciri utamanya
ialah semangat menguji murid ala Victoria yang bisa menyenangkan Mr. Gradgrind
dalam karya Dickens. Perusahaan-perusahaan ini harus membuktikan bahwa mereka
memberikan hasil, bukan hanya bagi murid, tapi juga pemegang saham.(John
Micklethwait, 2007:166).
b. Bahaya
Dunia Maya
Dunia maya
selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan mudah juga dapat
memberikan dampak negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka macam materi yang
berpengaruh negative bertebaran di internet. Misalnya: pornografi, kebencian,
rasisme, kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan
seperti pedafolia, dan pelecehan seksual pun mudah diakses oleh siapa pun,
termasuk siswa. Barang-barang seperti viagra, alkhol, narkoba banyak ditawarkan
melalui internet. Contohnya, 6 Oktober 2009 lalu diberitakan salah seorang
siswi SMA di Jawa Timur pergi meninggalkan sekolah demi menemui seorang lelaki
yang dia kenal melalui situs pertemanan “facebook”. Hal ini sangat berbahaya
pada proses belajar mengajar.
c.
Ketergantungan
Mesin-mesin
penggerak globalisasi seperti computer dan internet dapat menyebabkan kecanduan
pada diri siswa ataupun guru. Sehingga guru ataupun siswa terkesan tak
bersemangat dalam proses belajar mengajar tanpa bantuan alat-alat tersebut.
B. Keadaan
Buruk Pendidikan di Indonesia
1. Paradigma
Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
Diakui atau
tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem
pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan
khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti
telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara
kelembagaan,
Sekularisasi
pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan
pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum
melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat
bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan
dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap
secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya sangat
minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Pendidikan
yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan
rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan
agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta
dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang
awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu
terjun ke sektor modern.
2. Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat.
Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi
membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite
sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai
keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena
komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini
akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu pemerintah secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Koordinator
LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati
pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’. Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan
bahwa "mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan
pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua.
Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade).
Tesis
akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah
dengan bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak
bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi
kepentingan pribadi maupun golongan."
3. Kualitas
SDM yang Rendah
Akibat paradigma
pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik
di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika
dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara
dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah),
ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat
menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih
dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang
dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar
Internasional.
Di samping
kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih
kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut
menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun
SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000
guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.
Dalam
menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia
dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan
sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
C.
Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi
Dari
beberapa takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi
globalisasi. Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam
arus global tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa
transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam
globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia
pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua,
dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari
uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga,
alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam
pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari
pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga
memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita
lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan
nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena
mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar
kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini,
kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi,
maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita
sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.
Yang
dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning
strategy (strategi) , dan leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita
tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan
visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta
kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin
Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan
jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
Globalisasi
adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa-bangsa di seluruh dunia
Dampak
Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
1.
Pengajaran Interaktif Multimedia : Kemajuan teknologi akibat pesatnya arus
globalisasi, merubah pola pengajaran pada dunia pendidikan. Pengajaran yang
bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang berbasis teknologi baru
seperti internet dan computer.
2. Perubahan
Corak Pendidikan, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara.
Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World
Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus
berkompromi untuk melakukan perubahan.
Dampak
Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
1.
Komersialisasi Pendidikan : Era globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan.
Banyak didirikan sekolah-sekolah dengan tujuan utama sebagai media bisnis. John
Micklethwait menggambarkan sebuah kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai
merambah dunia pendidikan dalam bukunya “Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya
perusahaan pendidikan menandai pendekatan kembali ke masa depan.
2. Bahaya
Dunia Maya : Dunia maya selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan
mudah juga dapat memberikan dampak negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka
macam materi yang berpengaruh negative bertebaran di internet. Misalnya:
pornografi, kebencian, rasisme, kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita
yang bersifat pelecehan seperti pedafolia, dan pelecehan seksual pun mudah
diakses oleh siapa pun, termasuk siswa. Barang-barang seperti viagra, alkhol,
narkoba banyak ditawarkan melalui internet.
Penyebab
buruknya pendidikan di era globalisasi di indonesia adalah Mahalnya Biaya
Pendidikan, Kualitas SDM yang Rendah dan fasilitas pendidikan ang kurang, itu
yang mengakibatkan pendidikan tidak berjalan dengan lancar. Yang dibutuhkan
Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning strategy
(strategi) , dan leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita tidak akan
pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas,
tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan
yang kuat untuk mencapai itu.
B. Saran
Penulis
memberikan saran yang ditujukan untuk:
1.
Masyarakat agar para orang tua memperhatikan kepentingan anaknya dalam hal
pendidikan sehingga pendidikan berjalan dengan lancar.
2.
Pemerintah harus menggarkan danan yang cukup untuk keperluan pendidikan dan
menambah beasiswa bagi guru untuk training.
DAFTAR PUSTAKA
Asri B.
2008. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Faizah, F. 2009.
Dampak Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan,
(Online)(http://www.blogger.com/profile/14458280955885383127), diakses 18
Oktober 2011.
Munir.
2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Maqdani,
Anggota IKPI.
Surya,
M. 2002. Dasar-dasar Kependidikan di SD. Pusat penerbitan
Universitas Terbuka. Suryabrata, S. 2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta:
Rajawali Pers.
Januar, I.
2006. Globalisasi pendidikan dI indonesia,
(Online),(www.friendster.com/group/tabmain.php?statpos=mygroup&gid=340151),
diakses 18 Oktober 2011.
Wardoyo, C.
2007. Urgensi Pendidikan Moral (Online), (http://www.nu.or.i) diakses 18
oktober 2011.
2. Contoh
Artikel Semi Ilmiah :
DUA
WAJAH IBU
Perempuan tua itu
mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di
langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah
mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian
nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan
tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya
kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik
sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di
belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban
pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman
Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan
dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga
menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan
itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur
pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil,
seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik,
menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium
menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum
genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara
semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang
bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin
selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding
triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila
tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing
betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih
tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia
menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di
kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam
cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas
perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu
yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa
ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah
anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah
suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok
seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari
benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?”
lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan
yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu
kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke
sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua
gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota
itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal
memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia
balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah
gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah
janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti
radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela
napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa
pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar
kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti
mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan
pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung
Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan
berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap
itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu.
Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang,
seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan
pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk
sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah
berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak
Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang
berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret
Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras
beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan
cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di
kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam
ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol
sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya
menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak
Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa
senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau,
sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal.
Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di
rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada
satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan.
Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal.
Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak
disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar
tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak
Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan,
dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang
tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku
gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah
banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal
sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak
Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas
dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak.
Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak
jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara
Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum
semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk
pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta
mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor
pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka
awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk
Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling
Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita
karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti
mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak
Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak
jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama
pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah
berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa
puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih
saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi,
alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis,
merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa.
Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya
Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada
orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar
saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala
apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang
penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali
menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali
berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan
tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu,
menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa
dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang
dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan
gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi
mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak.
Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam
kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun
kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau
berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta
menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian
mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari
lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka
Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa
kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak,
menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota
merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam
besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan
dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir,
jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan
dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka
kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput,
mengkerut, dan carut-marut.
3. Contoh
Artikel Non Ilmiah :
SERAGAM
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan
pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak
menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak
dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih
langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas
balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi
pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang
berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera
tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan
yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk
menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya.
Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota
tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun
kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus
mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak
perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer
saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di
antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang
berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan
kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau
tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula,
bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai
seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya
belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir
mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas
amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok
lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut
diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut
sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti
itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami
hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat
dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena
hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia
keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak
beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik.
Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai
koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau
sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses
mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya.
Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa
menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia
langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang
dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya
tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa
dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik,
rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil
alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal
persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di
belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para
pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah
persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal
terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di
sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga
jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan
dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya
itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena
tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit
masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun
bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja
walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana
dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah
perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget,
pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong
sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya
sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya
menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau
tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat
bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir
bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan
itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan
menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih
yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan
habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan
kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya
melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu
dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang,
tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa
kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari
membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa
tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu.
Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan.
Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana
oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah
agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan
tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan
Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya
selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku
takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan
tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru
walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan
seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan
kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah
menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di
mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada,
diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi
membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah
pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri
dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah
masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah
peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau
mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa
luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak
kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku
percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama
terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban
berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus
sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini
setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat
melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak
pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya
merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan
seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah
membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul
dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang
tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu
kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh
lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam
coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang
akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar