Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil
ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang
tinggal di pesisir pantaidan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua
populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup,
struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke
dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan
sungai Nin serta suku Simai.
Ada banyak pertentangan di antara
desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat
untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung,
kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama.
Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus
daun sago yang dipanggang dan dimakan. Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai
1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan
banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara
keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai
kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup
di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
Suku Asmat yang berjumlah kurang lebih 65.000
jiwa dan mendiami daerah rawa-rawa di bagian selatan propinsi Irian Jaya ini
merupakan salah satu suku asli Papua. Mereka hidup di desa-desa yang jumlahnya
berkisar antar 35 sampai 2000 jiwa. Sampai sekitar tahun 50an, sebelum sejumlah
pendatang tiba, perang suku, perburuan kepala manusia dan kanibalisme merupakan
bagian kehidupan mereka sehari-hari. Rumah mereka dibangun di daerah kelokan
sungai supaya mereka bisa mengetahui lebih awal jika ada serangan musuh. Pada abad
20an, rumah-rumah mereka yang berada di daerah pantai rata-rata dibangun di
atas tiang yang tingginya sekitar 2 meter atau lebih, untuk melindungi warga
dari bahaya banjir yang disebabkan dari luapan air sungai. Di sekitar kaki
pegunungan Jayawijaya, suku Asmat hidup di atas rumah pohon yang dulu
tingginya sekitar 5 sampai 25 meter di atas permukaan tanah. Di beberapa titik,
mereka juga membangun pos pengamatan di atas pohon yang tingginya sekitar 30
meter dari permukaan tanah.
Suku Asmat pada dasarnya adalah bangsa pemburu
dan mengumpulkan makanan mereka dengan mengambil tepung dari pohon sagu, dengan
memancing atau secara berkala berburu babi hutan, kasuari dan buaya. Meskipun
populasi Asmat bertambah sejak adanya kontak dengan misionaris dan petugas
kesehatan dari pemerintah, tetapi jumlah persediaan hutan sebagai penyuplai
makanan semakin berkurang di awal tahun 90an. Menurut seorang Anthropology
Tobias Schneebaum, beberapa suku Asmat sudah belajar untuk bercocok tanam
sayur-sayuran seperti kacang panjang dan beberapa dari mereka juga mulai
berternak ayam. Dengan diperkenalkannya uang yang bisa diperoleh dari industri
pengolahan kayu dan penjualan patung dengan pendatang, beberapa anggota suku
Asmat mulai beralih kebutuhan pangan mereka pada beras dan ikan, sebagian besar
juga mulai terbiasa dengan berpakaian ala orang barat serta mulai menggunakan
peralatan dari metal.
Suku Asmat percaya bahwa kematian
yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah
disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan
kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang
sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri,
direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu
yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda
Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada
leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh
mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga
yang lain di desa tersebut.
Meskipun pemerintah kolonial Belanda tidak
mencakup teritorial Asmat sampai tahun 1938, dan misionaris Katolik juga baru
memulai misi mereka di tahun 1958, kenyataannya perubahan besar terjadi di
wilayah ini setelah tahun 60an. Pada awal 90an, suku Asmat mulai mengikuti
program pendidikan dari pemerintah dan mulai memeluk agama Kristen. Ketika
industri pengolahan kayu dan minyak mulai melebarkan ekspansinya ke wilayah
ini, kondisi lingkungan yang fragil serta hutan bakau di daerah pantainya
terancam rusak akibat hasil pembuangan sampah dan pengikisan tanah. Meskipun
suku Asmat telah berhasil mencapai penghargaan nasional maupun internasional
atas karya seni mereka, kemasyuran ini tidak memberikan input yang signifikan
bagi pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi penggunaan
tanah di wilayah teritorial suku Asmat sampai awal tahun 90-an.
http://www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat.htm
Mengenal suku asmat, Papua, Indonesia.
Suku
Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal diantara sekian
banyak suku yang ada di Papua,
Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal
adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen
/ motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek
moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai
disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu
atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa
nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir
kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual
untuk mengenang arwah para leluhurnya.
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172cm.
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar