Oleh: Tidak Diketahui
Kiriman: Fabianus Nontji
Kiriman: Fabianus Nontji
Jaman dahulu
kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon dan Matrena. Simon yang miskin
ini adalah seorang pembuat sepatu. Meskipun hidupnya tidaklah berkecukupan,
Simon adalah seorang yang mensyukuri hidupnya yang pas-pasan. Masih banyak
orang lain yang hidup lebih miskin daripada Simon. Banyak orang-orang itu yang
malah berhutang padanya. Kebanyakan berhutang ongkos pembuatan sepatu.
Maklumlah, di Rusia sangat dingin sehingga kepemilikan sepatu dan mantel
merupakan hal yang mutlak jika tidak mau mati kedinginan.
Suatu hari
keluarga tersebut hendak membeli mantel baru karena mantel mereka sudah banyak
yang berlubang-lubang. Uang simpanan mereka hanya 3 rubel (rubel = mata uang
Rusia) padahal mantel baru yang paling murah harganya 5 rubel. Maka Matrena
meminta pada suaminya untuk menagih hutang orang-orang yang telah mereka
buatkan sepatu. Maka Simon pun berangkat pergi menagih hutang. Tapi tak satupun
yang membayar. Dengan sedih Simon pulang. Ia batal membeli mantel.
Dalam
perjalanan pulang, Simon melewati gereja, dan saat itu ia melihat sesosok manusia
yang sangat putih bersandar di dinding luar gereja. Orang itu tak berpakaian
dan kelihatan sekali ia sangat kedinginan.
Simon
ketakutan, "Siapakah dia? Setankah? Ah, daripada terlibat macam-macam
lebih baik aku pulang saja". Simon bergegas mempercepat langkahnya sambil
sesekali mengawasi belakangnya, ia takut kalau orang itu tiba-tiba mengejarnya.
Namun ketika
semakin jauh, suara hatinya berkata, "HAI SIMON, TAK MALUKAH KAU? KAU
PUNYA MANTEL MESKIPUN SUDAH BERLUBANG-LUBANG, SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG.
PANTASKAH ORANG MENINGGALKAN SESAMANYA BEGITU SAJA?"
Simon ragu,
tapi akhirnya toh ia balik lagi ke tempat orang itu bersandar. Ketika sudah
dekat, dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya sungguh tampan.
Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan. Badannya terlihat lemas dan tidak
berdaya, namun sorot matanya menyiratkan rasa terima kasih yang amat sangat
ketika Simon memakaikan mantel luarnya kepada orang itu dan memapahnya berdiri.
Ia tidak bisa menjawab sepatah kata pun atas pertanyaan-pertanyaan Simon,
sehingga Simon memutuskan untuk membawanya pulang.
Sesampainya di
rumah, Matrena marah sekali karena Simon tidak membawa mantel baru dan membawa
seorang pria asing. "Simon, siapa ini? Mana mantel barunya? "
Simon mencoba
menyabarkan Matrena, "Sabar, Matrena.... dengar dulu penjelasanku. Orang
ini kutemukan di luar gereja, ia kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang".
"Bohong!!
Aku tak percaya....sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar ceritamu! Sudah tahu
kita ini miskin kok masih sok suci menolong orang segala!! Usir saja
dia!!"
"Astaga,
Matrena! Jangan berkata begitu, seharusnya kita bersyukur karena kita masih
bisa makan dan punya pakaian, sedangkan orang ini telanjang dan kelaparan.
Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?" Matrena menatap wajah pria
asing itu, mendadak ia merasa iba. Lalu disiapkannya makan malam sederhana
berupa roti keras dan bir hangat. "Silakan makan, hanya sebeginilah
makanan yang ada. Siapa namamu dan darimana asalmu? Bagaimana ceritanya kau
bisa telanjang di luar gereja?"
Tiba-tiba wajah
pria asing itu bercahaya. Mukanya berseri dan ia tersenyum untuk pertama
kalinya. "Namaku Mikhail, asalku dari jauh. Sayang sekali banyak yang tak
dapat kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya aku boleh menceritakan semua yang
kalian ingin ketahui tentang aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian
mau menerimaku bekerja di sini."
"Ah,
Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil. Aku takkan sanggup
menggajimu", demikian Simon menjawab.
Tak apa, Simon.
Kalau kau belum sanggup menggajiku, aku tak keberatan kerja tanpa gaji asalkan
aku mendapat makan dan tempat untuk tidur."
"Baiklah
kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja".
Malamnya
pasangan suami-istri itu tak dapat tidur. Mereka bertanya-tanya.
"Simon
tidakkah kita keliru menerima orang itu? Bagaimana jika Mikhail itu ternyata
buronan?" Matrena bertanya dengan gelisah pada Simon.
Simon menjawab,
"Sudahlah Matrena. Percayalah pada pengaturan Tuhan. Biarlah ia tinggal di
sini.Tingkah lakunya cukup baik. Kalau ternyata ia berperilaku tidak baik,
segera kuusir dia".
Esoknya Mikhail
mulai bekerja membantu Simon membuat dan memperbaiki sepatu. Di bengkelnya,
Simon mengajari Mikhail memintal benang dan membuat pola serta menjahit kulit
untuk sepatu. Sungguh aneh, baru tiga hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat
sepatu lebih baik dan rapi daripada Simon.
Lama kelamaan
bengkel sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu buatan Mikhail yang bagus.
Banyak pesanan mengalir dari desa-desa yang penduduknya kaya. Simon tidak lagi
miskin. Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar, tanpa bantuan tangan
terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini.
Namun mereka
juga terus bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya Mikhail ini. Anehnya,
selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali saja ia tersenyum, yaitu
dulu saat Matrena memberi Mikhail makan. Namun meski tanpa senyum, muka Mikhail
selalu berseri sehingga orang tak takut melihat wajahnya.
Suatu hari
datanglah seorang kaya bersama pelayannya. Orang itu tinggi besar, galak dan
terlihat kejam. "Hai Simon, Aku minta dibuatkan sepatu yang harus tahan
setahun mengahadapi cuaca dingin. Kalau sepatu itu rusak sebelum setahun,
kuseret kau ke muka hakim untuk dipenjarakan!! Ini, kubawakan kulit terbaik
untuk bahan sepatu. Awas, hati-hati ini kulit yang sangat mahal!"
Di pojok
ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba tersenyum. Mukanya
bercahaya, persis seperti dulu ketika ia pertama kalinya tersenyum.
Sebenarnya
Simon enggan berurusan dengan orang ini. Ia baru saja hendak menolak pesanan
itu ketika Mikhail memberi isyarat agar ia menerima pesanan itu.
Simon berkata,
"Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu itu. Aku sudah mulai tua.
Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan sepatu semahal ini. Hati-hati, ya.
Aku tak mau salah satu atau malah kita berdua masuk penjara."
Ketika Mikhail
selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya Simon. "Astaga,
Mikhail, kenapa kau buat sepatu anak-anak? Bukankah yang memesan itu orangnya
tinggi besar? Celaka, kita bisa masuk penjara karena...."
Belum selesai
Simon berkata, datang si pelayan orang kaya. "Majikanku sudah meninggal.
Pesanan dibatalkan. Jika masih ada sisa kulit, istri majikanku minta dibuatkan
sepatu anak-anak saja".
"Ini,
sepatu anak-anak sudah kubuatkan. Silakan bayar ongkosnya pada Simon",
Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan itu. Pelayan itu terkejut,
tapi ia diam saja meskipun heran darimana Mikhail tahu tentang pesanan sepatu
anak-anak itu.
Tahun demi
tahun berlalu, Mikhail tetap tidak pernah tersenyum kecuali pada dua kali
peristiwa tadi. Meskipun penasaran, Simon dan Matrena tak pernah berani
menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail karena takut ia akan meninggalkan
mereka.
Suatu hari
datanglah seorang ibu dengan dua orang anak kembar yang salah satu kakinya
pincang! Ia minta dibuatkan sepatu untuk kedua anak itu. Simon heran sebab
Mikhail tampak sangat gelisah. Mukanya muram, padahal biasanya tidak pernah
begitu.
Saat mereka
hendak pulang, Matrena bertanya pada ibu itu, "Mengapa salah satu dari si
kembar ini kakinya pincang?"
Ibu itu
menjelaskan, "Sebenarnya mereka bukan anak kandungku. Mereka kupungut
ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka. Padahal belum lama ayah
mereka juga meninggal. Kasihan, semalaman ibu mereka yang sudah meninggal itu
tergeletak dan menindih salah satu kaki anak ini Itu sebabnya ia pincang. Aku
sendiri tak punya anak, jadi kurawat mereka seperti anakku sendiri."
"Tuhan
Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu saja manusia
takkan dapat hidup tanpa Tuhannya", kata Matrena.
Mendengar itu,
Mikhail kembali berseri-seri dan tersenyum untuk ketiga kalinya. Kali ini bukan
wajahnya saja yang bercahaya, tapi seluruh tubuhnya. Sesudah tamu-tamu tersebut
pulang, ia membungkuk di depan Simon dan Matrena sambil berkata, "Maafkan
semua kesalahan yang pernah kuperbuat, apalagi telah membuat gelisah dengan
tidak mau menceritakan asal usulku. Aku dihukum Tuhan, tapi hari ini Tuhan
telah mengampuni aku. Sekarang aku mohon pamit."
Simon dan
Matrena tentu saja heran dan terkejut, "Nanti dulu Mikhail, tolong
jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau ini?"
Mikhail
menjawab sambil terus tersenyum, "Sebenarnya aku adalah adalah satu
malaikat Tuhan. Bertahun-tahun yang lalu Tuhan menugaskan aku menjemput nyawa
ibu kedua anak tadi. Aku sempat menolak perintah Tuhan itu tapi kuambil juga
nyawa ibu mereka. Aku menganggap Tuhan kejam. Belum lama mereka ditinggal
ayahnya, sekarang ibunya harus meninggalkan mereka juga. Dalam perjalanan ke
surga, Tuhan mengirim badai yang menghempaskanku ke bumi. Jiwa ibu bayi
menghadap Tuhan sendiri. Tuhan berkata padaku, 'MIKHAIL, TURUNLAH KE BUMI DAN
PELAJARI KETIGA KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:
PERTAMA, APAKAH
YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA? KEDUA, APA
YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA? KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN
MANUSIA?'
"Aku jatuh di halaman gereja, kedinginan dan kelaparan.
Simon menemukan dan membawaku pulang. Waktu Matrena marah-marah dan hendak
mengusir aku, kulihat maut dibelakangnya. Seandainya ia jadi mengusirku, ia
pasti mati malam itu. Tapi Simon berkata, “Tidakkah di hatimu ada sedikit belas
kasih?” Matrena jatuh iba dan memberi aku makan. Saat itulah aku tahu kebenaran
pertama:
“YANG HIDUP
DALAM HATI MANUSIA ADALAH BELAS KASIH"
"Kemudian
ada orang kaya yang memesan sepatu yang tahan satu tahun sambil marah-marah.
Aku melihat maut di belakangnya. Ia tidak tahu ajalnya sudah dekat. Aku
tersenyum untuk kedua kalinya. Saat itulah aku tahu kebenaran kedua:
“MANUSIA TIDAK
DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA. MASA DEPAN MANUSIA ADA DI TANGAN
TUHAN"
"Hari ini
datang ibu angkat bersama kedua anak kembar tadi. Ibu kandung si kembar itulah
yang diperintahkan Tuhan untuk kucabut nyawanya. Dan aku melihat si kembar
dirawat dengan baik oleh ibu lain. Aku tersenyum untuk ketiga kalinya dan kali
ini tubuhku bercahaya. Aku tahu kebenaran yang ketiga:
“MANUSIA DAPAT
HIDUP TANPA AYAH DAN IBUNYA TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP TANPA
TUHANNYA.”
Sumber:
http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/n/c1395.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar