1.
KENANGAN PERAHU SENJA
Karya Sinta
Ombak
berkejaran meraih pantai nyaris menyentuh pesisir. Tiada lelah tiada kesah.
Ribut bergemuruh sepanjang hari tanpa henti. Datang lalu pergi dan begitu
seterusnya. Tak berlalu pun tak berganti.
Bongkahan kayu menyatu dan terapung berselimutkan langit senja. Senja terindah! Dua onggok kayu beradu dalam air tuk melaju. Menatap fatamorgana nan remang di balik air.
“Tya, kamu beneran mau pindah ke kota?” Tanyaku datar dengan wajah sendu. Rasanya aku tak rela harus kehilangan sahabatku.
“Iya. Besok pagi aku berangkat. Tolong, jangan sedih kayak gitu! Aku kan gak pergi selamanya. Kalo ada waktu luang aku pasti balik karena aku punya sahabat di sini.” Tuturnya sambil tersenyum untuk mencoba menghiburku. Aku melonjak memelukknya dengan erat seakan tidak rela untuk melepaskannya pergi.
Bongkahan kayu menyatu dan terapung berselimutkan langit senja. Senja terindah! Dua onggok kayu beradu dalam air tuk melaju. Menatap fatamorgana nan remang di balik air.
“Tya, kamu beneran mau pindah ke kota?” Tanyaku datar dengan wajah sendu. Rasanya aku tak rela harus kehilangan sahabatku.
“Iya. Besok pagi aku berangkat. Tolong, jangan sedih kayak gitu! Aku kan gak pergi selamanya. Kalo ada waktu luang aku pasti balik karena aku punya sahabat di sini.” Tuturnya sambil tersenyum untuk mencoba menghiburku. Aku melonjak memelukknya dengan erat seakan tidak rela untuk melepaskannya pergi.
Itulah
pelukan terakhir sebelum akhirnya kita berpisah untuk waktu yang lama. Aku akan
sangat merindukannya. Merindukan sahabat yang selama ini selalu bersamaku dalam
suka maupun duka.
Hari silih berganti hinga merangkai bulan yang terus merajut tahun. Tya tak kunjung datang. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Apa dia sedang merindukanku? Atau mungkin merencanakan hari untuk menemuiku?
Kini aku berada di tengah-tengah keramaian kota. Tempat yang ramai dan terasa asing. Mengantarkan saudaraku dengan harapan bisa bertemu dengan Tya.
DUUGGGGG!!!! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku yang sedang menunduk ingin mengambil sesuatu. “Aawww....” Pekikku. Ternyata sebuah makanan kaleng yang jatuh.
“Aduuhhh..., maaf, maafin gue! Gue gak sengaja tadi. Beneran deh. Aduuhhhh....” Ucapnya panik.
“Aku yang sakit kok dia yang aduh-aduh sih?” Pikirku. Aku pun berdiri sambil mengelus bagian kepala yang terkena kaleng itu. Untung saja keadaan di swalayan cukup sepi hingga tidak menjadi pusat perhatian.
“Astaga...!” Kaget sungguh kaget ketika aku melihat perempuan itu adalah Tya, sahabatku. “Tya? Kamu Tya kan? Wah, kamu udah berubah. Tambah cantik aja kamu, Tya.” Selorohku histeris melihat perubahannya yang tampak modern.
“I.., iya gue Tya. Loe siapa? Kok kenal gue?” Tanyanya dengan raut kebingungan.
Duuaaarrrrr! Seperti sambaran petir yang tengah menerjang. Tak menyangka, tak percaya, dan tak diduga. Dalam kurun waktu yang singkat dia melupakanku, sahabatnya. Mungkinkah dia hanya berpura-pura?
“Kok diem? Aduh, masih sakit ya? Sorry deh sorry....”
“Kamu? Kamu beneran gak ingat aku? Aku Lina.” Ujarku lesu. Organku terasa membeku, urat nadi erat menyatu, dan hati begitu pilu.
“Lina? Lina..?? Lina siapa ya?” Tanyanya lagi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia segera membukanya. “Ya udah, gue pergi dulu. Soal tadi, sekali lagi gue minta maaf. Bye...” Pamitnya dan akhirnya beranjak meninggalkanku begitu saja.
Kamu pergi? Pergi gitu aja? Kamu bener-bener berubah. Kamu bukan Tya yang kukenal dulu. Kehidupan di kota merubahmu sedemikian hingga. Merubahmu menjadi diri yang lain. Diri yang tak mengenalku dan kukenal.
Malam tak bertemankan bulan dan bintang. Hanya berselimutkan awan mendung. Gulita mengingatkan waktu silam yang kini kelam. Siapa yang salah? Tak ada yang salah. Tidak aku, tidak dia, dan tidak juga waktu. Keadaan? Tak ada yang bisa menyalahkan. Kini hanya tinggal kenangan.
“Kamu gak tidur, Lina? Besok pagi kan kamu balik ke kampung.” Tanya Rasty, sepupuku yang telah berdiri di sampingku.
“Aku belum ngantuk. Kamu tidur aja.” Pintaku. “Oh iya, apa suatu hari nanti kamu juga akan berubah seiring berjalannya waktu?” Tanyaku tiba-tiba.
Rasty pun duduk di sebelahku. “Kamu kenapa, Hen? Ada masalah?” Aku menggeleng. Tapi aku yakin dia dapat membaca raut wajahku. “Pasti terjadi sesuatu. Ayo, cerita!”
Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya dengan panjang juga. “Tya. Aku tadi ketemu dia. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Dia bukan Tya yang kukenal dulu. Dia sudah seperti orang lain.” Aku pun terdiam sesaat. “Ah udah lah, maaf ganggu waktumu yang seharusnya sudah tidur.” Ujarku sambil tersenyum kecil.
Rasty menepuk-nepuk lenganku dengan bermaksud untuk menenangkanku. “Segala sesuatu akan berubah kapan saja tanpa terkendali. Mungkin dia bukan yang kamu kenal dulu. Tapi berbanggalah karena kamu tetap dirimu yang dulu yang selalu merindukannya. Gak masalah dia berubah atau nggak, asal satu hal yang kamu tau yaitu kamu gak pernah lupain dia. Bisa jadi suatu hari nanti dia kembali menjadi Tya yang dulu.” Tuturnya panjang lebar dengan bijaksana.
“Aku mengerti.” Jawabku singkat.
“Malam semakin larut untuk menuju pagi. Waktu gak akan berhenti hanya untuk menunggumu merenungkan perubahan. Tidurlah!” ujarnya lalu beranjak. Aku hanya mengiyakan pintanya sebelum akhirnya ia berjalan jauh menuju kamarnya.
Aku hanya belum ngantuk. Aku masih ingin duduk bersama sunyinya malam. Rumah-rumah mewah yang tertutup dan gelap, jalan yang sepi, dan lampu jalan yang remang. Seperti beberapa kalimat dalam sebuah lagi. “Langit selalu gelap. Semua orang akan berpisah. Siapa pun tak akan dapat menemani orang lain selamanya.”
“Ok, gue tunggu besok pagi.” Terdengar perbincangan beberapa gadis di persimpangan.
“Gadis-gadis kota!” Ucapku dalam hati.
“Sip.., bye.” Mobil pun melaju meninggalkan seorang gadis di persimpangan yang jaraknya hanya hitungan meter dari tempatku bersantai.
Gadis itu berjalan nyaris melewatiku, sedang aku sendiri hanya menunduk tidak ambil pusing siapa gadis itu. Hingga dia menghentikan langkahnya dan berjalan mendekatiku. “Loe yang tadi siang itu kan? Siapa nama loe? Sorry, gue lupa.” Sapanya. Aku menengadahkan kepala dan akhirnya aku menyadari jika gadis itu adalah Tya.
“Lina. Namaku Lina.” Ucapku dingin sambil berdiri. “Dalam hitungan bulan kamu sudah lupain aku. Dan dalam hitungan jam kamu lupain namaku. Mungkin setelah ini dalam kurun waktu dekat, kamu benar-benar lupa semuanya.” Ucapku semakin dingin.
“Sewot amat loe. Gue baik-baik nyapa malah jawabnya gitu. Tau gini gue kagak nyapa loe.” Ujarnya kesal. “Ya udah lah gue cabut dulu. Gue malas debat apalagi malam-malam gini.” Lanjutnya kemudian beranjak.
“Kamu bener-bener berubah, Tya.” Selorohku setengah menjerit. Dia pun berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapku. “Aku kecewa. Kamu bukan Tya yang dulu. Aku rindu seorang Tya. Di mana Tya yang dulu? Kenapa kamu biarin dia berubah menjadi orang lain?” Ucapku menahan isak tangis.
Dia belum menjawab melainkan mendekatiku. “Tya yang dulu? Gue gak tau Tya yang dulu. Mungkin dia udah pergi. Dan gue gak kenal ama loe. Loe salah orang.” Tuturnya.
“Aku gak mungkin salah. Kamu Tya dan kamu sahabatku. Kamu kenapa tega lupain aku? Kenapa kamu lupain janji kamu? Tiap senja kita selalu mendayung perahu dan menikmatinya sambil bercanda. Kenapa kamu buang itu semua dari ingatanmu, Tya? Kenapa?” Ujarku menahan tangis sambil mengguncang lengannya berharap dia hanya pura-pura.
“Lepasin!” Sentaknya menepis tanganku. “Ya, gue emang Tya dan Tya yang dulu udah pergi. Dia udah lupain semua kenangan itu. Hidup ini terlalu indah untuk memandang masa lalu. Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini. Paham loe?” Amarahnya membuncah.
Aku sadar. Akhirnya aku tau jika dia memang sengaja melupakannya. Dia melupakan semua kenangan yang terajut indah karena hidupnya yang sekarang. Wajar atau kejam kah?
“Anggap kita gak pernah ketemu! Gue udah berubah dan bukan yang dulu loe kenal. Lupain soal kenangan senja atau perahu atau apa pun itu. Selamat malam.” Ujarnya lalu beranjak tanpa ingin mendengar apa yang akan aku katakan.
Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini? Kalimat yang memilukan. Ibarat dinding-dinding kerinduan yang terkoyak belati berasa perih. Mulut membisu dan air mata yang berbicara.
“Kamu jahat, Tya! Apa salahku sampe kamu kayak gitu?”
Senja baru yang tidak biasa. Kini hanya aku sendiri bersama sejuknya udara tuk hempaskan rindu yang tak perlu. Senja itu, perahu itu, gemericik air itu, dan lampu remang itu hanyalah sisa-sisa kenangan. Yah, hanya sebait kenangan perahu senja. Tak ada yang berarti lagi.
“Hei, kamu!” Panggil seseorang dari belakang yang menghentikan renunganku. Aku menoleh dan kudapati seorang gadis yang belum pernah terlihat di kampung ini sebelumnya. “Ya, kamu! Kamu ngapain ngelamun sendiri?” Ucapnya seraya berjalan menghampiriku.
“Aku? Emm.., emang kenapa? Kamu siapa?” Tanyaku sambil memerhatikannya mengatur posisi duduk di sebelahku.
“Kenalin nama aku, Andin. Nama kamu siapa?” Tanyanya balik sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Lina.” Jawabku sambil menjabat tangannya. “Kamu warga baru? Aku gak pernah liat kamu sebelumnya.”
Dia menghela nafas. “Kalau gak pernah liat sebelumnya ya berarti aku warga baru. Pake tanya segala. Lagian kamu ngapain sore-sore gini nongkrong sendirian di sini? Gak takut apa kalo napa-napa?” Gerutunya seakan-akan sudah kenal dekat.
Kuamati dia dari ujung rambut sampai ujung kaki dan aku yakin dia anak kota. Mulai dari model rambutnya, pakaiannya, dan wajahnya. “Kamu.., dari kota kan?” Tebakku.
“Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?” Tanyanya menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menjawab. “Mau kota kek, desa kek, kampung kek, pelosok sekalian kek, menurutku sama aja.” Lanjutnya santai. “Eh kayaknya enak kali ya kalau dayung perahu sekarang ini? Pasti tenang dan terasa damai. Gimana menurutmu?” Tanyannya meminta pendapatku sambil tersenyum ceria menatap air pantai menari-nari di bawah senja.
“Kamu mau naik perahu? Aku bisa nemenin kamu. Berada di tengah-tengah sana rasanya indah sekali.” Timpalku lalu menunjuk tengah laut.
“Berdua doang? Kamu berani?” Tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Wah.., ayo deh kalo gitu. Oh iya, kamu mau gak jadi sahabatku? Aku baru di sini dan kamu orang pertama yang aku kenal.” Ujarnya menawarkan persahabatan padaku.
“Sahabat? Boleh.” Jawabku singkat.
“Ya udah yuuukkk!” Ajaknya tidak sabar seraya menarik tanganku menuju perahu.
Mungkin inilah maksud dari ucapan pepatah “Ketika seorang sahabat meninggalkanmu, biarlah karena Tuhan akan memberimu yang lebih baik.” Jika demikian hendaknya, maka inilah awal aku merangkai kisah perahu senja yang baru bersama orang baru dan meninggalkan yang telah lalu bersama kenangan senja itu.
Hari silih berganti hinga merangkai bulan yang terus merajut tahun. Tya tak kunjung datang. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Apa dia sedang merindukanku? Atau mungkin merencanakan hari untuk menemuiku?
Kini aku berada di tengah-tengah keramaian kota. Tempat yang ramai dan terasa asing. Mengantarkan saudaraku dengan harapan bisa bertemu dengan Tya.
DUUGGGGG!!!! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku yang sedang menunduk ingin mengambil sesuatu. “Aawww....” Pekikku. Ternyata sebuah makanan kaleng yang jatuh.
“Aduuhhh..., maaf, maafin gue! Gue gak sengaja tadi. Beneran deh. Aduuhhhh....” Ucapnya panik.
“Aku yang sakit kok dia yang aduh-aduh sih?” Pikirku. Aku pun berdiri sambil mengelus bagian kepala yang terkena kaleng itu. Untung saja keadaan di swalayan cukup sepi hingga tidak menjadi pusat perhatian.
“Astaga...!” Kaget sungguh kaget ketika aku melihat perempuan itu adalah Tya, sahabatku. “Tya? Kamu Tya kan? Wah, kamu udah berubah. Tambah cantik aja kamu, Tya.” Selorohku histeris melihat perubahannya yang tampak modern.
“I.., iya gue Tya. Loe siapa? Kok kenal gue?” Tanyanya dengan raut kebingungan.
Duuaaarrrrr! Seperti sambaran petir yang tengah menerjang. Tak menyangka, tak percaya, dan tak diduga. Dalam kurun waktu yang singkat dia melupakanku, sahabatnya. Mungkinkah dia hanya berpura-pura?
“Kok diem? Aduh, masih sakit ya? Sorry deh sorry....”
“Kamu? Kamu beneran gak ingat aku? Aku Lina.” Ujarku lesu. Organku terasa membeku, urat nadi erat menyatu, dan hati begitu pilu.
“Lina? Lina..?? Lina siapa ya?” Tanyanya lagi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia segera membukanya. “Ya udah, gue pergi dulu. Soal tadi, sekali lagi gue minta maaf. Bye...” Pamitnya dan akhirnya beranjak meninggalkanku begitu saja.
Kamu pergi? Pergi gitu aja? Kamu bener-bener berubah. Kamu bukan Tya yang kukenal dulu. Kehidupan di kota merubahmu sedemikian hingga. Merubahmu menjadi diri yang lain. Diri yang tak mengenalku dan kukenal.
Malam tak bertemankan bulan dan bintang. Hanya berselimutkan awan mendung. Gulita mengingatkan waktu silam yang kini kelam. Siapa yang salah? Tak ada yang salah. Tidak aku, tidak dia, dan tidak juga waktu. Keadaan? Tak ada yang bisa menyalahkan. Kini hanya tinggal kenangan.
“Kamu gak tidur, Lina? Besok pagi kan kamu balik ke kampung.” Tanya Rasty, sepupuku yang telah berdiri di sampingku.
“Aku belum ngantuk. Kamu tidur aja.” Pintaku. “Oh iya, apa suatu hari nanti kamu juga akan berubah seiring berjalannya waktu?” Tanyaku tiba-tiba.
Rasty pun duduk di sebelahku. “Kamu kenapa, Hen? Ada masalah?” Aku menggeleng. Tapi aku yakin dia dapat membaca raut wajahku. “Pasti terjadi sesuatu. Ayo, cerita!”
Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya dengan panjang juga. “Tya. Aku tadi ketemu dia. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Dia bukan Tya yang kukenal dulu. Dia sudah seperti orang lain.” Aku pun terdiam sesaat. “Ah udah lah, maaf ganggu waktumu yang seharusnya sudah tidur.” Ujarku sambil tersenyum kecil.
Rasty menepuk-nepuk lenganku dengan bermaksud untuk menenangkanku. “Segala sesuatu akan berubah kapan saja tanpa terkendali. Mungkin dia bukan yang kamu kenal dulu. Tapi berbanggalah karena kamu tetap dirimu yang dulu yang selalu merindukannya. Gak masalah dia berubah atau nggak, asal satu hal yang kamu tau yaitu kamu gak pernah lupain dia. Bisa jadi suatu hari nanti dia kembali menjadi Tya yang dulu.” Tuturnya panjang lebar dengan bijaksana.
“Aku mengerti.” Jawabku singkat.
“Malam semakin larut untuk menuju pagi. Waktu gak akan berhenti hanya untuk menunggumu merenungkan perubahan. Tidurlah!” ujarnya lalu beranjak. Aku hanya mengiyakan pintanya sebelum akhirnya ia berjalan jauh menuju kamarnya.
Aku hanya belum ngantuk. Aku masih ingin duduk bersama sunyinya malam. Rumah-rumah mewah yang tertutup dan gelap, jalan yang sepi, dan lampu jalan yang remang. Seperti beberapa kalimat dalam sebuah lagi. “Langit selalu gelap. Semua orang akan berpisah. Siapa pun tak akan dapat menemani orang lain selamanya.”
“Ok, gue tunggu besok pagi.” Terdengar perbincangan beberapa gadis di persimpangan.
“Gadis-gadis kota!” Ucapku dalam hati.
“Sip.., bye.” Mobil pun melaju meninggalkan seorang gadis di persimpangan yang jaraknya hanya hitungan meter dari tempatku bersantai.
Gadis itu berjalan nyaris melewatiku, sedang aku sendiri hanya menunduk tidak ambil pusing siapa gadis itu. Hingga dia menghentikan langkahnya dan berjalan mendekatiku. “Loe yang tadi siang itu kan? Siapa nama loe? Sorry, gue lupa.” Sapanya. Aku menengadahkan kepala dan akhirnya aku menyadari jika gadis itu adalah Tya.
“Lina. Namaku Lina.” Ucapku dingin sambil berdiri. “Dalam hitungan bulan kamu sudah lupain aku. Dan dalam hitungan jam kamu lupain namaku. Mungkin setelah ini dalam kurun waktu dekat, kamu benar-benar lupa semuanya.” Ucapku semakin dingin.
“Sewot amat loe. Gue baik-baik nyapa malah jawabnya gitu. Tau gini gue kagak nyapa loe.” Ujarnya kesal. “Ya udah lah gue cabut dulu. Gue malas debat apalagi malam-malam gini.” Lanjutnya kemudian beranjak.
“Kamu bener-bener berubah, Tya.” Selorohku setengah menjerit. Dia pun berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapku. “Aku kecewa. Kamu bukan Tya yang dulu. Aku rindu seorang Tya. Di mana Tya yang dulu? Kenapa kamu biarin dia berubah menjadi orang lain?” Ucapku menahan isak tangis.
Dia belum menjawab melainkan mendekatiku. “Tya yang dulu? Gue gak tau Tya yang dulu. Mungkin dia udah pergi. Dan gue gak kenal ama loe. Loe salah orang.” Tuturnya.
“Aku gak mungkin salah. Kamu Tya dan kamu sahabatku. Kamu kenapa tega lupain aku? Kenapa kamu lupain janji kamu? Tiap senja kita selalu mendayung perahu dan menikmatinya sambil bercanda. Kenapa kamu buang itu semua dari ingatanmu, Tya? Kenapa?” Ujarku menahan tangis sambil mengguncang lengannya berharap dia hanya pura-pura.
“Lepasin!” Sentaknya menepis tanganku. “Ya, gue emang Tya dan Tya yang dulu udah pergi. Dia udah lupain semua kenangan itu. Hidup ini terlalu indah untuk memandang masa lalu. Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini. Paham loe?” Amarahnya membuncah.
Aku sadar. Akhirnya aku tau jika dia memang sengaja melupakannya. Dia melupakan semua kenangan yang terajut indah karena hidupnya yang sekarang. Wajar atau kejam kah?
“Anggap kita gak pernah ketemu! Gue udah berubah dan bukan yang dulu loe kenal. Lupain soal kenangan senja atau perahu atau apa pun itu. Selamat malam.” Ujarnya lalu beranjak tanpa ingin mendengar apa yang akan aku katakan.
Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini? Kalimat yang memilukan. Ibarat dinding-dinding kerinduan yang terkoyak belati berasa perih. Mulut membisu dan air mata yang berbicara.
“Kamu jahat, Tya! Apa salahku sampe kamu kayak gitu?”
Senja baru yang tidak biasa. Kini hanya aku sendiri bersama sejuknya udara tuk hempaskan rindu yang tak perlu. Senja itu, perahu itu, gemericik air itu, dan lampu remang itu hanyalah sisa-sisa kenangan. Yah, hanya sebait kenangan perahu senja. Tak ada yang berarti lagi.
“Hei, kamu!” Panggil seseorang dari belakang yang menghentikan renunganku. Aku menoleh dan kudapati seorang gadis yang belum pernah terlihat di kampung ini sebelumnya. “Ya, kamu! Kamu ngapain ngelamun sendiri?” Ucapnya seraya berjalan menghampiriku.
“Aku? Emm.., emang kenapa? Kamu siapa?” Tanyaku sambil memerhatikannya mengatur posisi duduk di sebelahku.
“Kenalin nama aku, Andin. Nama kamu siapa?” Tanyanya balik sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Lina.” Jawabku sambil menjabat tangannya. “Kamu warga baru? Aku gak pernah liat kamu sebelumnya.”
Dia menghela nafas. “Kalau gak pernah liat sebelumnya ya berarti aku warga baru. Pake tanya segala. Lagian kamu ngapain sore-sore gini nongkrong sendirian di sini? Gak takut apa kalo napa-napa?” Gerutunya seakan-akan sudah kenal dekat.
Kuamati dia dari ujung rambut sampai ujung kaki dan aku yakin dia anak kota. Mulai dari model rambutnya, pakaiannya, dan wajahnya. “Kamu.., dari kota kan?” Tebakku.
“Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?” Tanyanya menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menjawab. “Mau kota kek, desa kek, kampung kek, pelosok sekalian kek, menurutku sama aja.” Lanjutnya santai. “Eh kayaknya enak kali ya kalau dayung perahu sekarang ini? Pasti tenang dan terasa damai. Gimana menurutmu?” Tanyannya meminta pendapatku sambil tersenyum ceria menatap air pantai menari-nari di bawah senja.
“Kamu mau naik perahu? Aku bisa nemenin kamu. Berada di tengah-tengah sana rasanya indah sekali.” Timpalku lalu menunjuk tengah laut.
“Berdua doang? Kamu berani?” Tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Wah.., ayo deh kalo gitu. Oh iya, kamu mau gak jadi sahabatku? Aku baru di sini dan kamu orang pertama yang aku kenal.” Ujarnya menawarkan persahabatan padaku.
“Sahabat? Boleh.” Jawabku singkat.
“Ya udah yuuukkk!” Ajaknya tidak sabar seraya menarik tanganku menuju perahu.
Mungkin inilah maksud dari ucapan pepatah “Ketika seorang sahabat meninggalkanmu, biarlah karena Tuhan akan memberimu yang lebih baik.” Jika demikian hendaknya, maka inilah awal aku merangkai kisah perahu senja yang baru bersama orang baru dan meninggalkan yang telah lalu bersama kenangan senja itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar