Selasa, 16 Juni 2015

TUGAS TULISAN SOFTSKILL_TUGAS3_BI



1.      INDAHNYA CINTA DAN PERSAHABATAN
Karya Laila Novi Kusumawati

Pagi hari, yang cerah. Semua masih sama seperti biasanya. Namaku masih tetap Laila, masih tetap duduk di kelas 9. Dan masih bersekolah di SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Rumah dan keluargaku juga masih sama.

Hanya satu yang berbeda, hatiku. Hatiku sedang hancur, mendapat kabar buruk dari penghibur hatiku. Yang nyatanya, dia hanya memberikan harapan palsu, saja. Bukan ‘perhatian’ yang ku kira.
“Ngelamun aja, yuk kantin”, sapa sahabat terdekatku, Minda.
“Haha, yuk!”, aku spontan tertawa kecil, karena ‘merasa’ dikagetkan.
Halaman sekolahku tidak begitu luas, tapi sekarang, jaraknya terasa sangat jauh. Saat Minda menanyakan; Kenapa aku ‘galau’ ?



Aku hanya diam, aku yakin dia sudah tau apa alasannya. Kemarin aku uda luapkan semua cerita dan kesedihanku sama dia, bahkan tangisku..
“Udahlah gak usah terlalu dipikirin. Kita uda mau ujian lho La, semangat! Kamu pasti bisa La, kamu kuat”, ucap Minda menyemangatiku, saat ke luar dari kelas. Karena sedari tadi aku hanya diam. Tetep aja, aku diem dan hanya membalasnya dengan senyuman.
“Iya La, nanti ga bisa masuk SMADA, mati kau!”, canda Azza, yang juga sahabatku. Ini sangat menggelikan. Aku dan semua sahabatku, sontak tertawa. Dia memang sahabat yang paling berbeda dari yang lain. Dia sangat humoris. Dia-lah perncair suasana kita.
“Yuk balik, udah bel tuh. Denger ngga?”, ajak Azza kepadaku dan yang lainnya, dengan nada semangat.
“Yuk”, jawab kita serempak dan disertai dengan anggukan dari yang lain.
“Ma-te-ma-ti-ka”, begitulah aku mengeja kata yang tertempel di sampul buku tulis berwarna cokelat ini.
Seperti biasanya, kami berkelompok untuk mengerjakan beberapa soal untuk persiapan ujian. Nama kelompok ku Fidayodela, terdiri dari beberapa anak kece; Fitri, Dava, Yovie, Desthi dan aku, Laila. Menurut penglihatan temen-temen dari kelompok yang lain, kelompok ku adalah yang ternyaman! Karena kami konsekuen dengan hak dan kewajiban kami. Saatnya serius kita konsentrasi, saatnya free kita bener-bener gila. Pokoknya nyaman dan nyenengin kok!
Seperti hari biasanya, aku sama temen-temen pulang naik bus, angkutan umum. Tapi, aku ngerasa ada yang beda dari biasanya, semua temen-temenku dari tadi senyum dan ketawa ga jelas. Mencurigakan. Yakin, pasti ada yang mereka sembunyiin.

Ini lagi.. Aku ngga ngerti sama perilaku Minda, yang ini. Dia mau duduk bentar di tengah jalan mau ke halte. Aku sih nurut aja. Awalnya, aku cuman fokus sama cemilan di tanganku ini. Tapi kok, tiba-tiba...
“Ada yang dateng! Aku mau pergi! Aku ngga mau di sini! Aku benci dia!”, teriak ku dalam hati. Sekarang, aku telah melahap habis cemilanku. Bingung asli, mau ngapain. Fix, aku salting.
“Minda, ayo pulang..”, kataku sama Minda yang baru asyik ngobrol sama temen yang lain.
“Nanti dulu ah La”, jawab Minda, santai. Dia bener-bener gak mikirin aku yang dari tadi salting, dan muak liat...
“Gawat! Ini bener-bener gawat. Tuhan...”, aku pengen teriak sekenceng-kencengnya, berharap temen-temen denger dan bakal segera pulang.

Entah kapan waktu uda mulai berdetik, dia... Iya, dia. Fauzan. Uda turun dari sepedanya dan sekarang jalan, menghampiri aku.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, boleh?”, ujarnya dengan nada lembut dan tanpa ku sadari, aku mengangguk.
Aku lihat sekelilingku. Masih sama, masih temen-temenku aja yang di sini. Dan masih saja, mereka sibuk ngobrol. Seperti tidak tau, aku ‘akan’ ngobrol sama Fauzan. Atau mungkin berpura-pura tak tau(?)

Aku duduk. Tepat di depan dia berdiri. Capek tau berdiri.
“Aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu”, kata Fauzan dengan singkat. Jelas. Mendarat tepat di telinga. Mengebom hatiku. Meledaklah, duar!
Sekejap aku mengangkat pandanganku yang sedari tadi melihat ke bawah. Aku diam, menatapnya. Aku usir pandanganku ke sekitar. Aku makin diem, bahkan sekarang aku membelakkan mata. Hampir semua teman satu kelas aku, di sini. Ngeliat ini. Rasaku amburadul.

Aku ngga pernah nyangka, ternyata dia memendam ini(?) pengen banget aku bilang ke dia, “Maafin aku yang udah buruk sangka sama kamu. Aku uda ngira, kamu cinta sama orang lain dan menganggapku cuman sebagai pelampiasan kamu”. Tapi ku urungkan niatku.
“Aku juga cinta sama kamu”, jawabku lirih. Agar tak ada temen yang denger. Ternyata hipotesaku nol. Temen-temen uda tukeran telinga sama kelelawar. Mereka semua denger. Semua teriak, menggodaku.
“Mau ngga jadi pacarku?”, katanya dengan singkat di tengah-tengah teriakan temen-temen. Lalu semua diam. Aku melihatnya, lebih lekat. Aku lihat ada harapan besar di matanya.
Aku menunduk, lagi. Aku ngga tau harus berkata apa. Aku punya prinsip, ngga mau pacaran selama aku belum memiliki ‘ikatan suci’.

Tapi, di samping itu.. Aku juga pengen hangout, makan bareng dan seneng-seneng yang lain, sama lawan jenis. Aku pasti bahagia. Dunia ini milik aku. Karena, cinta datang dengan senyum kecil yang sangat manis.
“Min...da?”, kataku dengan memberikan isyarat bahwa aku membutuhkan solusi.
“Udah, terima aja Lai!”, ujar Yulia bersemangat.
“Iya, nanti nyesel loh”, ujar Fitri dengan senyum manisnya.

Semua temanku pun berujar...
“Terima aja, anggap ini cuman ‘status’. Kamu masih bisa jaga diri kamu. Tetap istiqomah sama prinsip kamu. Aku yakin, pasti Fauzan bakal ngebantu kamu buat jaga prinsip kamu. Dia ngga mungkin nyakitin kamu”, bisik Minda.
Aku peluk dia, erat.
“Iya, aku mau”, jawabku dengan senyum kecil untuknya. Semua temen-temen teriak, gempar.
Akhirnya, aku berlalu dari dia. Kami berjalan menuju halte, tempat kita biasa nunggu bus.
Aku seneng, aku sangat bersyukur kepada Allah. Semoga Allah ngga marah sama aku. Aku bisa miliki cinta di hati aku dengan sebuah jawaban pasti. Aku sangat menikmati hidup dengan cinta yang aku punya, dengan Fauzan. Indah...

Sumber : http://www.lokerseni.web.id/2013/07/indahnya-cinta-dan-persahabatan-cerpen.html.

TUGAS TULISAN SOFTSKILL_TUGAS3_BI



1.      BOLOS SEKOLAH
Karya Ilham Afie Fadhlillah

 Adzan Maghrib pun berkumandang. Fikri segera melaksanakan sholat maghrib berjamaah bersama Ibunya. Setelah melaksanaka sholat maghrib ia meminta doa kepada Allah agar dia kelak saat dewasa nanti menjadi orang shaleh dan menjadi orang yang sukses. Dia juga tidak lupa untuk mendoakan ayahnya yang telah meinggal saat Fikri masih kecil. Karena sejak saat itu Ibunya Fikri menjadi tulang punggung dengan bekerja sebagai Karyawan swasta di sebuah perusahaan ternama.

Keesokan harinya, Fikri dan teman – temannya berjanji untuk bermain sepak bola di lapangan depan perumahan mereka. “Ibu, Fikri izin bermain sepak bola dulu ya bu?.” Izin Fikri kepada ibunya. “Iya, kamu boleh bermain sepak bola asalkan, sebelum maghrib sudah sampai di rumah.” Jawab ibu kepada Fikri. “Iya, Fikri janji bu.” sahut Fikri kepada ibunya. Fikri pun langsung pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai sepedanya menyusuri jalan perumahan yang basah karena hujan baru saja mengguyur tempat itu.




Saat tiba di lapangan ternyata teman-teman Fikri sudah menunggunya sejak tadi. ‘’Itu dia si Fikri.” Kata Badu sambil menunjuk ke arah Fikri. “Oh, iya itu dia baru datang.” Kata Doni sambil melihat ke arah Fikri. Fikri melihat teman-temannya dari kejauhan, Fikri berpikir pasti teman-temannya tak sabar untuk bermain bola bersama dia. “Maaf, aku telat sudah membuat kalian menunggu lama..” Kata Fikri minta maaf kepada temannya. “Iya Fik, tidak apa-apa lagipula kita tidak buru-buru mau bermain sepak bola.” Sahut Badu kepada Fikri. “Iya, benar kata Badu.” Sahut Doni. “ Jadi kan kita bermain sepak bola?” tanya Fikri kepada teman-temannya. “Jadi, ayo kita bermain sepak bola!” seru Doni kepada teman-temannya. Permainan pun berlansung dengan seru. Tiba-tiba Doni tidak sengaja menyenggol kaki kanan Fikri sehingga dia terjatuh. “Kamu tidak apa – apa kan Fikri?” tanya doni sambil membantu Fikri untuk berdiri. “Ng..Nggak apa-apa.” Jawab Fikri sambil menahan rasa sakit di kaki kanannya. “Sudah lebih baik kita berhenti saja bermain bolanya.” Kata Badu kepada teman-temannya. “Fik, bagaimana kalau aku mengantar kamu pulang?.” tanya Doni kepada Fikri. “Iya, boleh” jawab Fikri kepada Doni. Akhirnya permainan mereka pun selesai. Fikri diantar pulang oleh Doni karena kaki kanan Fikri yang tidak bisa mengendarai sepeda sedangkan Badu pulang sendiri ke rumahnya.

Sesampai tiba di depan rumah Fikri, dia langsung berterima kasih kepada Doni karena Doni telah mengantarkan Fikri ke rumahnya. “Don, maaf sudah membuat kamu repot mengantarkan aku ke rumah.” Permintaan maaf Fikri kepada Doni. “tidak apa – apa Fik lagipula kan aku sudah membuat kaki kanan kamu terluka tadi saat bermain sepak bola seharusnya aku yang minta maaf bukan kamu.” Jawab Doni kepada Fikri. “Iya aku sudah maafin kamu kok, terima kasih Fik sudah antar aku ke rumah.” Sahut Fikri. “Iya, sudah ya Fik aku mau pulang ke rumah dulu nanti dimarahi oleh Ibu kalau pulang setelah maghrib.” Pamitnya kepada Fikri. “Iya, hati-hati di jalan. “ Sahutnya

Fikri pun masuk rumah sambil menahan rasa sakit pada kaki kanannya. “Assalamualaikum bu, Fikri pulang.” Salamnya sambil membuka pintu rumah. “Wallaikumsalam, akhirnya kamu pulang juga ibu sudah siapkan makanan buat makan malam.” Jawab Ibu kepada Fikri. “I..iya bu.” Kata fikri sambil menahan rasa sakit pada kakinya. “Kaki kamu kenapa Fik?” tanya Ibu kepada Fikri. “Iya bu ini tadi Doni tidak sengaja menyenggol kaki Fikri sampai aku terjatuh.” Jawab Fikri kepada Ibunya. “Oh, ya sudah sana mandi setelah itu obati luka yang ada pada kakimu.” Jawab Ibu kepada Fikri. “Baik bu.” Sahut Fikri kepada ibunya.
Setelah Fikri melaksanakan Sholat maghrib ia pun langsung bergegas menuju ke ruang makan dan menyantap makan malam itu. “ Fik, bagaimana masakan ibu enak tidak?.” Tanya ibu kepada Fikri. “Alhamdulillah, enak bu.” jawabnya. “Oh iya Fik ibu punya hadiah buat kamu.” Kata ibu. “Hadiah apa bu?” tanya Fikri kepada ibunya. Ibunya segera mengeluarkan sebungkus kotak yang masih terbungkus dengan rapih. “Ini ibu membelikan kamu sebuah ponsel kebetulan ibu dapet rejeki hari ini.” kata Ibu sambil memberikan ponsel kepada Fikri. “Terima kasih bu, Fikri berjanji setelah dibelikan ponsel Fikri akan lebih giat lagi dalam belajar.” Sahutnya. “Bagus Fikri Ibu suka kalau kamu akan lebih giat lagi setelah kamu diberikan ponsel baru.

Keesokan harinya saat Fikri tiba di sekolah, Kelas sudah mulai rame tidak seperti biasanya. Suasana kelas bercampur aduk ada yang sedang mengobrol dan ada pula yang sedang bermain ponsel dengan asiknya. “Hai Fikri.” Panggil Rio kepada Fikri teman sebangkunya. Fikri pun lansung duduk disebelah Rio. Bel masuk pun telah berbunyi dan pelajaran pun akan dimulai. Pelajaran pertama yaitu kimia oleh Bapak Widi. Beliau pun masuk lalu menyuruh ketua kelas untuk memimpin doa. Saat pelajaran dimulai Rio hanya fokus kepada ponselnya saja. “Rio,sstt Rio udah berhenti main ponselnya.” tegur Fikri kepada Rio dengan nada pelan. “Kenapa?, tanggung ini lagi seru mainnya.” Jawab Rio. “Nanti kamu kena marah sama pak guru.” Tegur Fikri kepada Rio. Ternyata diam-diam Pak Widi memperhatikan mereka yang sedang berbisik-bisik itu. “Fikri dan Rio apa yang sedang kalian bicarakan? Dari tadi kalian hanya berbicara saja.” tegur Pak Widi kepada mereka berdua. “Nggh ini pak si Rio.. si Rio..” jawab Fikri dengan rag-ragu. “Ada apa dengan Rio, Fikri?” potongnya. “Si Fikri dari tadi tidak memperhatikan selama Bapak menjelaskan tadi.” jawab Fikri. “Apa benar Rio kamu tidak memperhatikan pada saat Bapak menjelaskan di papan tulis tadi?” tanya Pak Widi kepada Rio. “I..iya pak.” jawab Rio dengan terbata-terbata. Tanpa pikir panjang Pak Widi segera bergegas menuju tempat duduk mereka berdua. “Coba keluarkan ponselmu.” Tegur Pak Widi kepada Rio dengan nada marah. “B.. Baik ini pak.” sahutnya Rio sambil megeluarkan ponsel dan memberinya kepada Pak Widi. “Pasti ponsel ini yang membuat kamu tidak memperhatikan Bapak tadi, benar bukan?” tanya Pak Widi, “Iya pak.” jawabnya dengan lesu dan menahan malu. “Mulai hari ini Bapak akan memegang sementara ponsel ini kalau kamu ingin ponsel ini kembali, temui Bapak bersama orang tua kamu besok di ruang guru.” kata Pak Widi dengan tegas. Pak Widi pun langsung melanjutkan pelajaran hingga bel istirahat berbunyi

Bel istirahat pun berbunyi, Pelajaran Pak Widi pun selesai. Semua siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tapi tidak dengan Rio dia hanya tertunduk lesu dan lemas mungkin karena ponsel dia disita oleh Pak Widi. “Kamu kenapa Rio dari tadi kok lemas?” tanya Fikri. “Iya, aku malu kalau sampai besok orang tua aku harus menghadap Pak Widi apalagi masalahnya tentang ponsel tadi.” jawab Rio dengan nada agak kesal. “Oh, soal tadi lagian kamu kenapa tidak mau dengar nasihat aku tadi jadi ponsel kamu disita.” jawab Fikri kepada Rio. “Tadi itu aku sedang keasikan kirim pesan sama teman lama aku.” jawab Rio. “Ya sudah kamu bilang aja ke orang tua kamu tentang masalah ini secara baik-baik siapa tahu orang tua kamu bisa mengerti maksud kamu tanpa harus marah-marah.” sahut Fikri. “Tidak tahu lah , aku pusing mikirin soal masalah ini.” jawab Rio sambil meninggalkan Fikri. Bel masuk pun berbunyi, selama pelajaran berlangsung tampak dari muka Rio yang murung karena memikirkan masalah yang tadi bagaimana dia harus memberitahu masalah itu kepada orang tuanya karena kedua orang tua Rio bekerja di luar negeri bahkan saat pengambilan hasil nilai semester lalu pun di wakilkan oleh bibinya. Bel pulang pun berbunyi Fikri lansung bergegas pulang ke rumahnya.

Keesokan harinya, bel masuk pun sudah berbunyi tetapi Rio belum datang ke sekolah. tidak ada yang tahu kabar Rio apakah dia sakit atau izin yang jelas Rio tidak datang ke sekolah hari ini. Saat bel istirahat pun Pak Widi juga menanyakan kepada teman – teman di kelas mengapa Rio tidak datang sekolah padahal hari ini dia mempunyai janji untuk membawa orang tua Rio ke sekolah. Akhirnya Fikri memutuskan untuk ke rumah Rio seusai pulang sekolah bersama Badu dan Doni.

Bel pulang pun telah berbunyi. Fikri,Badu dan Doni berniat untuk mengunjungi rumah Rio. Saat tiba di rumah Rio, Fikri pun langsung menekan bel yang ada di depan pagar ruamah Rio. “Assalamualaikum, Rio!” panggil Fikri dengan nada keras. “Wallaikumsalam, eh ada Fikri,Badu dan Doni. Ayo, silakan masuk!” ajaknya Bibi kepada mereka. “Terima kasih bi, tidak usah masuk takut ngerepotin bibi.” jawab Badu kepada Bibi. “Sebenarnya ke datangan kami kesini untuk menanyakan mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini, memang mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini?” tanya Doni kepada Bibi. “Lho, bukannya hari ini Rio datang ke sekolah?” jawab Bibi dengan kaget. “Tidak bi, seharian ini Rio tidak datang ke sekolah padahal Pak Widi menayakan kabar Rio.” jawab Fikri. “Tadi pagi Rio sudah izin kepada bibi sambil mengenakan seragam sekolah.” jawab Bibi. “Tapi kami tidak melihat Rio, bi padahal Rio sudah punya janji untuk menghadap Pak Widi bersama orang tua.” jawab Fikri. “Rio, juga tidak cerita kepada bibi kalau hari ini dia dipanggil untuk menghadapa Pak Widi bersama orang tua, memang ada apa dengan Rio?” tanya Bibi kepada mereka. “Begini bi, pada saat pelajaran Pak Widi, Rio tidak memperhatikan dia hanya asik dengan ponselnya sehinnga Rio ditegur dan dimarahi oleh Pak Widi serta beliau menyita ponsel milik Rio karena itu ponsel milik akan di kembalikan apabila orng tuanya telah menghadap Pak Widi.” Kata Fikri menjelaskan masalah yang terjadi. “Oh jadi begitu, itu si Rio baru pulang.” jawab Bibi sambil menujuk ke arah Rio. “Maaf bi, Rio tidak meberitahukan masalah ini kepada bibi.” kata Rio sambil tertunduk lesu. “Iya tidak apa – apa lain kali kalau ada masalah seperti ini langsung bilang ke bibi.” Nasihat Bibi kepada Rio. “Iya, benar kata Bibi, Rio.” sahut Badu. “Jadi besok kamu masuk ke sekolah kan?” tanya Fikri. “Iya besok aku akan pergi ke sekolah” jawab Rio. “Bi, kami izin pamit pulang dulu. Assalamualaikum.” pamitnya Doni kepada Bibi “Iya, wallaikumsalam hati-hati di jalan. Mereka pun bertiga bergegas ke rumah masing – masing sedangkan Bibi tetap melaporkan masalah ini kepada kedua orang tua Rio.

Esok paginya. Bibi Rio yang menghadap Pak Widi karena kedua orang tua Rio tidak bisa datang ke sekolah karena mereka masih ada urusan pekerjaan di luar negeri. Pak Widi pun mengembalikan ponsel milik Rio dengan syarat dia harus berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan Rio pun menerima janji itu.


TUGAS TULISAN SOFTSKILL_TUGAS3_BI



1.      KENANGAN PERAHU SENJA
Karya Sinta

Ombak berkejaran meraih pantai nyaris menyentuh pesisir. Tiada lelah tiada kesah. Ribut bergemuruh sepanjang hari tanpa henti. Datang lalu pergi dan begitu seterusnya. Tak berlalu pun tak berganti.

Bongkahan kayu menyatu dan terapung berselimutkan langit senja. Senja terindah! Dua onggok kayu beradu dalam air tuk melaju. Menatap fatamorgana nan remang di balik air.
“Tya, kamu beneran mau pindah ke kota?” Tanyaku datar dengan wajah sendu. Rasanya aku tak rela harus kehilangan sahabatku.
“Iya. Besok pagi aku berangkat. Tolong, jangan sedih kayak gitu! Aku kan gak pergi selamanya. Kalo ada waktu luang aku pasti balik karena aku punya sahabat di sini.” Tuturnya sambil tersenyum untuk mencoba menghiburku. Aku melonjak memelukknya dengan erat seakan tidak rela untuk melepaskannya pergi.



Itulah pelukan terakhir sebelum akhirnya kita berpisah untuk waktu yang lama. Aku akan sangat merindukannya. Merindukan sahabat yang selama ini selalu bersamaku dalam suka maupun duka.

Hari silih berganti hinga merangkai bulan yang terus merajut tahun. Tya tak kunjung datang. Entah apa yang ia lakukan sekarang. Apa dia sedang merindukanku? Atau mungkin merencanakan hari untuk menemuiku?

Kini aku berada di tengah-tengah keramaian kota. Tempat yang ramai dan terasa asing. Mengantarkan saudaraku dengan harapan bisa bertemu dengan Tya.

DUUGGGGG!!!! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku yang sedang menunduk ingin mengambil sesuatu. “Aawww....” Pekikku. Ternyata sebuah makanan kaleng yang jatuh.
“Aduuhhh..., maaf, maafin gue! Gue gak sengaja tadi. Beneran deh. Aduuhhhh....” Ucapnya panik.
“Aku yang sakit kok dia yang aduh-aduh sih?” Pikirku. Aku pun berdiri sambil mengelus bagian kepala yang terkena kaleng itu. Untung saja keadaan di swalayan cukup sepi hingga tidak menjadi pusat perhatian.
“Astaga...!” Kaget sungguh kaget ketika aku melihat perempuan itu adalah Tya, sahabatku. “Tya? Kamu Tya kan? Wah, kamu udah berubah. Tambah cantik aja kamu, Tya.” Selorohku histeris melihat perubahannya yang tampak modern.
“I.., iya gue Tya. Loe siapa? Kok kenal gue?” Tanyanya dengan raut kebingungan.

Duuaaarrrrr! Seperti sambaran petir yang tengah menerjang. Tak menyangka, tak percaya, dan tak diduga. Dalam kurun waktu yang singkat dia melupakanku, sahabatnya. Mungkinkah dia hanya berpura-pura?
“Kok diem? Aduh, masih sakit ya? Sorry deh sorry....”
“Kamu? Kamu beneran gak ingat aku? Aku Lina.” Ujarku lesu. Organku terasa membeku, urat nadi erat menyatu, dan hati begitu pilu.
“Lina? Lina..?? Lina siapa ya?” Tanyanya lagi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia segera membukanya. “Ya udah, gue pergi dulu. Soal tadi, sekali lagi gue minta maaf. Bye...” Pamitnya dan akhirnya beranjak meninggalkanku begitu saja.

Kamu pergi? Pergi gitu aja? Kamu bener-bener berubah. Kamu bukan Tya yang kukenal dulu. Kehidupan di kota merubahmu sedemikian hingga. Merubahmu menjadi diri yang lain. Diri yang tak mengenalku dan kukenal.

Malam tak bertemankan bulan dan bintang. Hanya berselimutkan awan mendung. Gulita mengingatkan waktu silam yang kini kelam. Siapa yang salah? Tak ada yang salah. Tidak aku, tidak dia, dan tidak juga waktu. Keadaan? Tak ada yang bisa menyalahkan. Kini hanya tinggal kenangan.
“Kamu gak tidur, Lina? Besok pagi kan kamu balik ke kampung.” Tanya Rasty, sepupuku yang telah berdiri di sampingku.
“Aku belum ngantuk. Kamu tidur aja.” Pintaku. “Oh iya, apa suatu hari nanti kamu juga akan berubah seiring berjalannya waktu?” Tanyaku tiba-tiba.

Rasty pun duduk di sebelahku. “Kamu kenapa, Hen? Ada masalah?” Aku menggeleng. Tapi aku yakin dia dapat membaca raut wajahku. “Pasti terjadi sesuatu. Ayo, cerita!”

Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya dengan panjang juga. “Tya. Aku tadi ketemu dia. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Dia bukan Tya yang kukenal dulu. Dia sudah seperti orang lain.” Aku pun terdiam sesaat. “Ah udah lah, maaf ganggu waktumu yang seharusnya sudah tidur.” Ujarku sambil tersenyum kecil.

Rasty menepuk-nepuk lenganku dengan bermaksud untuk menenangkanku. “Segala sesuatu akan berubah kapan saja tanpa terkendali. Mungkin dia bukan yang kamu kenal dulu. Tapi berbanggalah karena kamu tetap dirimu yang dulu yang selalu merindukannya. Gak masalah dia berubah atau nggak, asal satu hal yang kamu tau yaitu kamu gak pernah lupain dia. Bisa jadi suatu hari nanti dia kembali menjadi Tya yang dulu.” Tuturnya panjang lebar dengan bijaksana.
“Aku mengerti.” Jawabku singkat.
“Malam semakin larut untuk menuju pagi. Waktu gak akan berhenti hanya untuk menunggumu merenungkan perubahan. Tidurlah!” ujarnya lalu beranjak. Aku hanya mengiyakan pintanya sebelum akhirnya ia berjalan jauh menuju kamarnya.

Aku hanya belum ngantuk. Aku masih ingin duduk bersama sunyinya malam. Rumah-rumah mewah yang tertutup dan gelap, jalan yang sepi, dan lampu jalan yang remang. Seperti beberapa kalimat dalam sebuah lagi. “Langit selalu gelap. Semua orang akan berpisah. Siapa pun tak akan dapat menemani orang lain selamanya.”
“Ok, gue tunggu besok pagi.” Terdengar perbincangan beberapa gadis di persimpangan.
“Gadis-gadis kota!” Ucapku dalam hati.
“Sip.., bye.” Mobil pun melaju meninggalkan seorang gadis di persimpangan yang jaraknya hanya hitungan meter dari tempatku bersantai.

Gadis itu berjalan nyaris melewatiku, sedang aku sendiri hanya menunduk tidak ambil pusing siapa gadis itu. Hingga dia menghentikan langkahnya dan berjalan mendekatiku. “Loe yang tadi siang itu kan? Siapa nama loe? Sorry, gue lupa.” Sapanya. Aku menengadahkan kepala dan akhirnya aku menyadari jika gadis itu adalah Tya.
“Lina. Namaku Lina.” Ucapku dingin sambil berdiri. “Dalam hitungan bulan kamu sudah lupain aku. Dan dalam hitungan jam kamu lupain namaku. Mungkin setelah ini dalam kurun waktu dekat, kamu benar-benar lupa semuanya.” Ucapku semakin dingin.
“Sewot amat loe. Gue baik-baik nyapa malah jawabnya gitu. Tau gini gue kagak nyapa loe.” Ujarnya kesal. “Ya udah lah gue cabut dulu. Gue malas debat apalagi malam-malam gini.” Lanjutnya kemudian beranjak.
“Kamu bener-bener berubah, Tya.” Selorohku setengah menjerit. Dia pun berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapku. “Aku kecewa. Kamu bukan Tya yang dulu. Aku rindu seorang Tya. Di mana Tya yang dulu? Kenapa kamu biarin dia berubah menjadi orang lain?” Ucapku menahan isak tangis.

Dia belum menjawab melainkan mendekatiku. “Tya yang dulu? Gue gak tau Tya yang dulu. Mungkin dia udah pergi. Dan gue gak kenal ama loe. Loe salah orang.” Tuturnya.
“Aku gak mungkin salah. Kamu Tya dan kamu sahabatku. Kamu kenapa tega lupain aku? Kenapa kamu lupain janji kamu? Tiap senja kita selalu mendayung perahu dan menikmatinya sambil bercanda. Kenapa kamu buang itu semua dari ingatanmu, Tya? Kenapa?” Ujarku menahan tangis sambil mengguncang lengannya berharap dia hanya pura-pura.
“Lepasin!” Sentaknya menepis tanganku. “Ya, gue emang Tya dan Tya yang dulu udah pergi. Dia udah lupain semua kenangan itu. Hidup ini terlalu indah untuk memandang masa lalu. Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini. Paham loe?” Amarahnya membuncah.

Aku sadar. Akhirnya aku tau jika dia memang sengaja melupakannya. Dia melupakan semua kenangan yang terajut indah karena hidupnya yang sekarang. Wajar atau kejam kah?
“Anggap kita gak pernah ketemu! Gue udah berubah dan bukan yang dulu loe kenal. Lupain soal kenangan senja atau perahu atau apa pun itu. Selamat malam.” Ujarnya lalu beranjak tanpa ingin mendengar apa yang akan aku katakan.

Gak ada waktu mengingat masa lalu karena kita hidup di masa kini? Kalimat yang memilukan. Ibarat dinding-dinding kerinduan yang terkoyak belati berasa perih. Mulut membisu dan air mata yang berbicara.
“Kamu jahat, Tya! Apa salahku sampe kamu kayak gitu?”

Senja baru yang tidak biasa. Kini hanya aku sendiri bersama sejuknya udara tuk hempaskan rindu yang tak perlu. Senja itu, perahu itu, gemericik air itu, dan lampu remang itu hanyalah sisa-sisa kenangan. Yah, hanya sebait kenangan perahu senja. Tak ada yang berarti lagi.
“Hei, kamu!” Panggil seseorang dari belakang yang menghentikan renunganku. Aku menoleh dan kudapati seorang gadis yang belum pernah terlihat di kampung ini sebelumnya. “Ya, kamu! Kamu ngapain ngelamun sendiri?” Ucapnya seraya berjalan menghampiriku.
“Aku? Emm.., emang kenapa? Kamu siapa?” Tanyaku sambil memerhatikannya mengatur posisi duduk di sebelahku.
“Kenalin nama aku, Andin. Nama kamu siapa?” Tanyanya balik sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Lina.” Jawabku sambil menjabat tangannya. “Kamu warga baru? Aku gak pernah liat kamu sebelumnya.”
Dia menghela nafas. “Kalau gak pernah liat sebelumnya ya berarti aku warga baru. Pake tanya segala. Lagian kamu ngapain sore-sore gini nongkrong sendirian di sini? Gak takut apa kalo napa-napa?” Gerutunya seakan-akan sudah kenal dekat.

Kuamati dia dari ujung rambut sampai ujung kaki dan aku yakin dia anak kota. Mulai dari model rambutnya, pakaiannya, dan wajahnya. “Kamu.., dari kota kan?” Tebakku.
“Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?” Tanyanya menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menjawab. “Mau kota kek, desa kek, kampung kek, pelosok sekalian kek, menurutku sama aja.” Lanjutnya santai. “Eh kayaknya enak kali ya kalau dayung perahu sekarang ini? Pasti tenang dan terasa damai. Gimana menurutmu?” Tanyannya meminta pendapatku sambil tersenyum ceria menatap air pantai menari-nari di bawah senja.
“Kamu mau naik perahu? Aku bisa nemenin kamu. Berada di tengah-tengah sana rasanya indah sekali.” Timpalku lalu menunjuk tengah laut.
“Berdua doang? Kamu berani?” Tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Wah.., ayo deh kalo gitu. Oh iya, kamu mau gak jadi sahabatku? Aku baru di sini dan kamu orang pertama yang aku kenal.” Ujarnya menawarkan persahabatan padaku.
“Sahabat? Boleh.” Jawabku singkat.
“Ya udah yuuukkk!” Ajaknya tidak sabar seraya menarik tanganku menuju perahu.

Mungkin inilah maksud dari ucapan pepatah “Ketika seorang sahabat meninggalkanmu, biarlah karena Tuhan akan memberimu yang lebih baik.” Jika demikian hendaknya, maka inilah awal aku merangkai kisah perahu senja yang baru bersama orang baru dan meninggalkan yang telah lalu bersama kenangan senja itu.

TUGAS TULISAN SOFTSKILL_TUGAS3_BI



1.      PENGORBANAN  TERINDAH UNTUK  ANGGUN
Karya Lusi Parwini, Ni Putu

“Ra, Dara kamu dimana? Katanya kamu bawa kejutan buat aku.”Ujar Anggun, gadis tuna netra yang mencari seseorang yang baru saja bersamanya. Gadis itupun terus menggerakkan kursi roda sampai di taman belakang rumahnya. Ketika sampai disana, terdengar suara Dara dan seseorang sayup-sayup di belakang pohon mangga. Secara tak sengaja Anggun mendengar percakapan mereka.
“Aku gak nyangka keadaannya seperti ini, dan aku gak sanggup jalani hubungan ini.”suara seorang cowok yang rasanya dikenal Anggun. Rio, pacar Anggun. ‘Apakah Rio akan mutusin hubungan kita, setelah tahu keadaanku sekarang?’tanyanya sedih dalam hati.
“Jangan gitu Yo, kasiankan dia, dia pasti sedih kalau dia mendengar pernyataanmu tadi.” Terdengar suara Dara.
“Tapi, hm, aku sayang kamu.”perkataan Rio mengejutkan Anggun. Anggunpun menghampiri Dara dan Rio.
“Gila ya! kalian ngehianatin aku.” Ujar Anggun sembari membalikkan badannya dan menggerakkan kursi roda berbalik arah. Dara dan Rio segera mencegat Anggun dan mencoba menjelaskan sesuatu.
“Nggun, semuanya gak seperti yang kamu denger.”jelas Dara
“Apa??jelas-jelas aku dengar Rio bilang cinta ma kamu, Ra.”
“Gak ada Nggun. Aku gak ada bilang cinta sama Dara tapi…”Penjelasan Rio yang terpaksa tak berujung, nampaknya Anggun tidak mau tau apa yang dijelaskannya, baginya semua itu hanya omong kosong. Bujukan yang tak ada artinya. Anggun tetep kekeh dan percaya pada apa yang ia dengar barusan. Dengan bergerak tergesa-gesa, Anggun menghambur ke kamarnya dan pintu pun sengaja dikuncinya rapat-rapat. Sementara itu Dara dan Rio menyusul Anggun dari belakang.
“tok,tok,tok.”terdengar suara pintu kamar Anggun diketuk dan diiringi suara-suara Dara dan Rio yang saling bersahutan memanggil Anggun serta hendak menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya.
“Pergi, Pergi kalian! Aku gak butuh penjelasan dari kalian, semuanya sudah sangat jelas. Pergi!!”Ucapnya sembari melempar bantal ke pintu, bukan hanya itu, boneka dan semua yang ada dikamarnya diobrak-abrik, sebagai pelampiasan rasa amarah dan sedih yang luar biasa berkecamuk dihatinya.
“Sekarang aku tahu perasaan kamu sebenarnya ke aku Yo. Kamu gak cinta aku secara tulus. Dulu aja, saat aku normal, bisa melihat, kamu bilang cinta mati ke aku. Tapi sekarang setelah musibah 2 bulan lalu menimpaku, kamu malah ninggalin aku Yo. Kamu malah pergi kepelukan Dara, sahabatku sendiri. Kamu juga Dara, jelas-jelas kamu tahu aku sama Rio sudah 5 bulan pacaran tapi kenapa Rio malah kamu embat?” Gerutunya dalam kamar yang sepi bisu. Lama-kelamaan khayalan Anggun melayang jauh pada kejadian tragis yang menimpanya tempo lalu.


Dua bulan yang lalu, Anggun, Dara, Maria, dan Fitri pulang bersama dengan mengendarai sepeda. Sembari mengobrol dan bercanda empat gadis belia itu bersepeda dengan santai. Tiba-tiba Anggun merasa haus, rasa haus yang begitu menyiksa tenggorokan Anggun. Diapun langsung menyebrang jalan ke Supermarket. Awalnya Dara melarang Anggun ke Supermarket itu, entah karena apa, padahal suasana jalan waktu itu sangat sepi. Tapi saking hausnya Anggun tidak peduli, ia langsung mengayuh sepeda begitu saja. Tiba-tibamuncul sebuah mobil Avansa silver dengan kecepatan tinggi menyambar tubuh Anggun. Anggunpun tak sadarkan diri. Dan ketika ia terbangun,ia merasa aneh. Ia tak bisa melihat apapun. Semuanya gelap. Keadaan ini ditanyakan pada mamanya. Terdengarlah suara tangisan Mama Anggun, dan ternyata Anggun buta. Anggun yang tak percaya akan hal ini berontak. Dan mulai saat itu pula kehidupan Anggun berubah drastis. Hidupnya hanya mengandalkan kursi roda dan bantuan orang lain. Sebagian besar sahabatnya pergi ninggalin Anggun karena keadaannya sekarang. Hanya Dara yang mau menemani hari-hari sepinya. Namun kini penghianatan membuat hati Anggun semakin teriris dalam kesendirian.

Tiba-tiba “Tok,tok,tok.”Terdengar suara pintu kamar Anggun diketuk.
“Sayang, buka pintu dong sayang, ini Mama.”Bujuk Mama Anggun lembut dibalik pintu, yang meluluhkan hati Anggun yang panas. Anggunpun membuka pintu. Seketika Anggun menghambur dalam pelukan Mamanya.
“Sayang kenapa ini? Kenapa berantakan”Mama Anggun heran, dan memeluk Anggun balik. Seketika Anggun menceritakan semua kejadian di taman. Mama Anggun pun mencoba sabar menghadapi emosi anaknya.
“Sayang, jangan begitu! Mungkin saja apa yang kamu dengar tidak seperti apa yang terjadi sesungguhnya sayang. Tidak mungkin kan Dara menghianati kamu. Sebaiknya kamu dengarkan penjelasan mereka.” Ujar Mama anggun sembari mengelus-elus rambut Anggun.
“Tapi Ma, aku sudah mendengar dengan jelas Ma. Pendengaranku masih awas. Gak mungkin salah, Ma aku mau sendiri.”Ujar Anggun sembari melepaskan diri dari pelukan Mamanya. Anggun mengunci diri di kamarnya. Tentunya menenangkan diri dengan segala masalah ini.
Hari-hari Anggunpun mulai dipenuhi kesendirian lagi. Penuh dengan kesepian. Tiada lagi suara renyah Dara yang menemani hari-harinya. Apabila Dara datang menemui Anggun, dia menolak mentah-mentah. Dan begitulah seterusnya. Begitu sunyinya hidup Anggun yang akhirnya membuat dia rindu akan keramaian. Akhirnya Anggun pun mencoba ke taman belakang untuk memperoleh ketenangan.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang menuju tempat Anggun duduk menghirup udara segar.
“Nggun, kamu ada disini , aku cari kamu ke rumah tadi, kamunya gak ada. Nggun, aku ingin menjelaskan kalau..”
“Cukup!! Cukup Ra, Gak ada yang perlu dijelasin lagi.Semuanya sudah jelas. Pergi, pergi!”Anggun segera memotong perkataan Dara, dia tak mau tau apa-apa lagi keburu rasa marah dan kecewa telah menguasai hatinya. Anggun pun menggerakkan kursi rodanya dengan susah payah, berusaha menghindari Dara.

Tiba-tiba, ‘AWAS!!!’ Dara histeris sembari mendorong Anggun. Dan yang masih terdengar jelas teriakan Dara yang lemah. Anggun hendak terbangun, namun buru-buru ia tak sadarkan diri. Ketika ia terbangun, terdengar suara Mama dan Papa Anggun yang panik melihat Anggun.
“Pa,Ma, Dara mana? Dara gak apa-apa kan? Anterin Anggun ke rumah Dara sekarang Ma, Pa…”Pinta Anggun lemah, panik, dan perasaannya mulai tidak enak.
“Ehm… Dara, Dara gak apa-apa kok? Tadi dia mau nengokin kamu… tapi dia takut kamu tolak Nggun… Ya udah nak. Kamu istirahat ya…”Ujar Mama Anggun terbata, beliau mulai meninggalkan Anggun dengan wajah sedih. Papa Anggun pun meninggalkan Anggun sendiri dengan tatapan yang sama. ‘ada apa sebenarnya? Entah apa yang disembunyikan dariku,’batinnya. Anggun mencoba tenang dan merebahkan diri di tempat tidur.

Tiba-tiba Dara datang dengan senyum yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Entah mengapa Anggun merasa senang tak terkira.
“Nggun. Kamu gak apa-apa kan. Nggun aku minta maaf telah membuat kamu kecewa tapi…”
“Nggak aku ikhlas Ra, aku ikhlasin Rio sama kamu, mungkin dia lebih bahagia sama kamu.”
“Nggak Nggun. Nggak, percaya Nggun, Rio sangat mencintaimu. O ya, aku ingin memberi sesuatu sebelum aku pergi. Kamu harus jaga kenangan yang ku beri.”
“Tapi, Ra, kamu mau pergi kemana? Jangan tinggalin aku Ra. Aku gak akan nolak kamu lagi, kumohon, atau kamu boleh ajak aku ikut bersamamu.. Aku gak mau kamu pergi sendiri.”
“Jangan Nggun, jangan, aku harus pergi sendiri,selamat tinggal”
“Dara jangan tinggalin aku, Dara…. Dara….Dara….Dara…” teriak Anggun.
“Sayang, kamu kenapa?”Ujar Mama Anggun dan Anggunpun terbangun.
“Jadi semua ini mimpi, tapi mimpi itu seperti nyata, itu pasti isyarat Ma.”Anggun memeluk mamanya sembari menceritakan mimpi buruknya barusan.
“Sayang, itu kan cuma mimpi,bunga tidur, jangan dipikirkan.”Mama Anggun mengusap-usap rambut Anggun dengan lembut.
‘Kring….’ terdengarlah suara telepon berdering, terpaksa Mama Anggun melepas pelukan anaknya dan berlari ke ruang keluarga. Hal itu mulai membuat Anggun penasaran. Dan Mama Anggun pun berbalik.
“Nggun, ada berita bagus. Ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu.”Ujar mama Anggun yang membuat anak semata wajahnya senang bukan kepalang. Dengan semangat Anggun diantar ke rumah sakit. Dalam perjalanan bibir mungil Anggun dipenuhi senyum membayangkan dirinya bisa melihat lagi seperti semula.

Operasi pun dimulai, tangan-tangan ahli mulai melakukan kebolehannya dalam mencangkok kornea mata. Dalam hitungan jam, operasi selesai. Anggun mulai membuka matanya. Terang sungguh terang. Semua orang di ruangan itu dilihatnya 1 per 1. Dokter,Perawat,Mama,Papa, Rio, Kak Siska,Mama Dara,tapi mana Dara? Tanya Anggun dalam hati.
“Kak Siska, Dara mana? Rio, mana Dara? Ma,Pa,Tante kenapa Dara tidak kesini?”Tanya Anggun panik, namun seketika sunyi tak ada jawaban, hanya tatapan sedih yang mengelilinginya. Anggun pun mulai terbangun.
“Kak Siska mana Dara?”Ujar Anggun sembari menggetarkan tubuh kakaknya Dara.
“Ehm, Nggun. Ini titipan surat dari Dara. Selain itu ada bungkusan buat kamu.” Rio menyodorkan sepucuk surat dan bungkusan kepada kekasihnya itu. Dengan sigap Anggun menerima dan buru-buru membaca surat dari sahabatnya itu.
Dear : Anggun
Nggun, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah pergi… O ya, maafin aku karena aku tak sempat memberikan hadiah padamu sebelum aku pergi. Dan lewat surat inilah aku memberikan kenangan untukmu sahabatku. Nggun, maafin aku juga ya, belum sempat menjelaskan kalau aku dan Rio tidak ada hubungan apa-apa. Waktu itu Rio ngungkapin perasaannya pada foto kamu, bukan aku. Percayalah Rio itu orangnya setia. Dan janjilah kamu harus percaya sama Rio ,jika kamu sayang sama dia,Ok. Nggun, nanti kamu akan bisa melihat, melihat seluruh isi dunia ini. Melihat semua keindahan yang telah Tuhan berikan. Tapi maaf, aku gak akan bisa lagi menemani hari-harimu seperti dulu.Tapi tenang saja mataku akan terus menemanimu, menemanimu melihat indahnya dunia, dan akan ikut menghadapi masa depanmu. Dan kamu jangan sedih, aku tak mau kamu sedih. Bila kamu kangen sama aku, kamu bisa lihat bintang, pasti kangenmu akan terobati, seperti dulu waktu aku kangen papa. Oya kalung yang kita buat dulu sudah jadi. Simpan dan jaga baik-baik. Sekali lagi, Nggun jangan sedih… Aku akan selalu ada untukmu. Meskipun ragaku tak mungkin bersamamu lagi tapi aku selalu ada dihatimu. Dan aku akan selalu menjagamu dan bersamamu….